Jakarta, pada suatu siang
Di sebuah kedai kopi berwarna hijau
Tetiba terdengar percakapan dua orang sahabat, yang samar-samar membicarakan masalah asmaranya. Dari penampilannya usia mereka sekitar 26-28 tahun, pekerja kantoran seperti kebanyakan orang disitu yang sedang menikmati secangkir doping untuk sekedar mengangkat pelupuk mata. Anggap saja mereka Si A dan Si B.
Perbincangan mereka terdengar menarik, ternyata Si A baru saja mendapatkan kembali hatinya setelah sekian lama dilabuhkan pada kekasihnya. Entah apa penyebabnya, gw pun gak mau terlalu tau. Dengan penuh rasa bimbang, secara samar Si A berkata, “gw harus membuka hati nih buat yang baru”. Kemudian Si B dengan semangatnya berkata, “Itu harus bray, masa orang kaya lo terlalu lama sedih, kaya gak ada yang lain aja”.
Kemudian mereka berdua pun kembali terlibat dalam sebuah percakapan mengenai bagaimana cara membuka kembali hati Si A. Dari balik tablet di depan mata, gw pun hanya bisa tersenyum dan berusaha mencerna percakapan mereka.
Tersenyum simpul karena mendengar berbagai saran Si B yang berusaha menghibur sahabatnya. Tapi saran tersebut terasa hambar untuk didengar, seperti alunan melodi indah namun tak berlirik.
Dan gw pun berpikir..
Bagaimana caranya membuka hati, perkara sulit sih yang satu ini. Sekuat apapun berusaha, niscaya tidak berhasil. Gimana mau dibuka, emangnya hati ada pintunya? Tentu saja tidak dan kalaupun ada pintu akan terbuka jika ada anak kunci yang membuka kombinasi kerumitan isi hati seseorang. Dan tidak semua anak kunci bisa cocok kan, harus pas kombinasinya.
Hati itu kaya tembok China, tebal, sulit dihancurkan, dan ketika hancur susah untuk dibangun kembali. Tapi percayalah setebal apapun tembok, ada titik lemahnya. Hanya saja perlu seseorang yang handal untuk dapat mengetahuinya. Atau mungkin sang empunya rumah bisa dengan sukarela menunjukkan titik tersebut? Ah itu pilihan hidup masing-masing pribadi.
Pemikiran gw pun berakhir dengan habisnya cairan kafein dalam botol plastik berlogo kedai kopi warna hijau.